Kamis, 31 Desember 2009

Tuan Menara

"Tuan Menara"
captured by joseph novi christianto on friday mornin' 18 dec '09

digital pocket camera canon power shot A480
mercusuar patehan, pandansari, bantul


Malam yang kelam, Tuan Menara tampak muram dalam naungan cahaya bulan nan temaram.
Memandang berkeliling, berputar, lagi dan lagi. Semalam suntuk ia terjaga mengawasi para nelayan yang melaut dan kapal-kapal yang kehilangan arah. Matanya yang terang, memandang tajam ke setiap sudut lautan di sekelilingnya. Sunyi dan hanya berteman debur ombak. Debur ombak yang tak hentinya menggoda karang-karang itu. Satu dua digodanya camar-camar di tepi pantai dengan riaknya yang bergolak. Angin dingin yang menerpa turut menjadi teman setia. Menunggu nona mentari tiba menari di ujung cakrawala menggantikannya mengawasi lautan luas.

Pagi yang cerah, Tuan Menara tampak gagah menjulang tinggi di birunya cakrawala.
Matanya kini terpejam, namun tubuhnya tetap terjaga, siaga. Nona mentari telah menggantikannya mengawasi lautan. Dan kini Tuan Menara bermandikan cahaya pagi Nona Mentari. Hangat, sangat nyaman, dan menenangkan. Segerombolan awan tampak bercanda riang di ujung cakrawala, bermain ular naga dan sesekali berlari-lari. Nyonya Cemara dan anak-anaknya juga sudah tampak membuka mata, mereka bersiap untuk turut menari di hangatnya sinar Nona Mentari. Sebaris kecil angin sepoi berkejaran disela-sela mereka meninggalkan hawa yang membangkitakan suasana. Aah.. camar-camar itupun kini tak mau kalah, disambarnya riak-riak yang bergolak di deburnya ombak pagi itu. Sesekali mereka terbang melayang dan hinggap di bahu Tuan Menara, tergelak-gelak sesaat dan kembali menukik ke arah ombak-ombak yang tak lelahnya membelai pantai.
"Tuan Menara dan Nyonya Cemara"
captured by joseph novi christianto on friday mornin' 18 dec '09
digital pocket camera canon power shot A480
mercusuar patehan, pandansari, bantul


Siang yang terik, Tuan Menara tetap terlihat menarik di terpa sinar Nona Mentari yang makin meninggi.
Meninggi dan terus meninggi, dan kini Nona Mentari tepat berada diatas Tuan Menara. Tersenyum dan memandang berkeliling. Dihalaunya segerombolan awan yang mencoba menghadangnya. Camar-camar itu kini tampak kelelahan dan sesekali hinggap pada Nyonya Cemara. Ya, nyonya Cemara dan anak-anaknya tampak tenang dan kini mereka mulai membuka tikar makan siang mereka, tepat di bawah Tuan Menara. Semangkuk selai cherry dan sepiring pie stroberry. Itu kesukaan mereka. Tuan Menara melirik sedikit ke arah mereka dan tersenyum. Bau selai cherry itu selalu membuatnya penuh semangat. Nyonya Cemara tahu itu, dan diberikannya sesendok penuh selai cherry segar itu untuk Tuan Menara.

Senja yang hangat, Tuan Menara tak tampak penat meski berdiri sepanjang hari menyandang amanat.
Ya ya ya.. selepas Nona Mentari kembali keperaduannya di balik cakrawala itu, Tuan Menara harus bersiap menggantikannya mengawasi lautan, menuntun para nelayan dan pelaut yang tersesat di pekatnya malam. Tapi Tuan Menara masih punya waktu sebentar menghangatkan tubuhnya dengan sisa-sisa bias sinar nona mentari. Bersiap-siap membuka matanya yang ia pejamkan seharian meskipun tidak tidur. Lagi- lagi hanya nyanyian ombak yang mengiringi kesendiriannya. Nona Mentari berpamitan untuk terakhir kali, Nyonya cemara dan anak-anaknya juga sudah bersiap-siap beristirahat. Tuan Menara menghela nafas panjang dan membuka matanya, seiring Nona Mentari menghilang berganti gemintang. Satu, dua, tiga, Tuan Menara mulai mengukur pandangannya. satu, dua, tiga dibimbingnya mereka, mencari jalan pulang menuju sanak keluarga.


yogyakarta, dini hari, 31 Desember 2009, pagi terakhir di tahun ini.
Terimakasih 2009, Selamat datang 2010.
Dan Tuan Menara akan menyongsong pagi di tahun yang baru.
Selamat Tahun Baru 2010, semoga tercapai segala keinginan anda yang belum tercapai di tahun yang lalu.

Sabtu, 26 Desember 2009

They were Sister

ink on paper

Pagi berlari ceria mengejar rona-rona merah jingga dari semburat yang menerobos sela-sela cemara yang mulai menua. Satu dua langkah bergema dalam irama yang menghentak sukma. Dua pasang kaki terus berlari saling mengejar tak mau tertinggal. Sesaat berhenti, tersengal, menarik nafas panjang, melihat berkeliling. indah. indah dan hanya indah. lalau berlari lagi. Kedua pasang kaki itu. Tetap saling berkejaran riang ceria penuh canda. Tak beralas kaki, tapi tak mengapa. Rumput hijau menahan kaki-kaki mungil itu dari antukan batu dan duri yang menari-nari disepanjang jalan setapak itu. Terus berlari menuju kepuncak bukit itu, kaki-kaki itu seperti menari. Berpacu dan terus melaju.

Ah... puncak bukit sudah tampak dkat rupanya. Sebuah menara tua menjulang diatasnya. Hijau menghampar di sela-sela merah menyala yang menggoda. Dua pasang kaki terhenti seketika di depan papan bertulisakan "kebun stroberi menari". Sesaat. ya hanya sesaat kaki kaki itu berhenti berlari. Sekejap berikutnya kembali menari menuju kebun stroberi.

"Kakak, aku mau memetik 7 stroberi untukku sendiri..." Kata si asik pada kakaknya sembari terus berlari menari riang.
"Kenapa hanya 7 adik? Kakak juga mau... Adek bisa petik 7o atau 700 stroberi kalo adik mau.."
Ujar sang kakak pada adiknya.
"Ah.. tidak kakak... adik cuma mau 7 stroberi saja... Satu untuk ku makan disini, satu untuk kakak, satu untuk ayah, satu untuk ibu." Adik menjelaskan
"Itu baru empat..., lalu untuk siapa yang tiga lagi, dik? Kakak bertanya lagi..
"Satu untuk Tuan Menara, satu untuk nona mentari dan satu lagi untuk nyonya cemara.." jawab si adik tersenyum ceria.
Sang Kakak memandang adiknya lembut dan tersenyum mengerti.
"Ayo, Dik kita menari stroberi... " Ajak kakak
"Ayo.. Ayo.. Kak... ahahaha... tari stroberi... Ayo kak... " Adik mengiyakan penuh semangat...

Dan mereka menari dibawah bayang-bayang Tuan menara dan hangatnya sinar nona mentari yang mengintip manja dari sela-sela nyonya cemara....
Dan hari itupun sekali lagi indah...
Merona dan berbayang-bayang jingga.
Tersenyum dan menatap.
Hangat dan menentramkan jiwa.
Dan lantunan stroberi menari itupun bergema diseluruh lembah di bawah bukit itu.

====================================

Kamis, 24 Desember 2009

MERRY CHRISTMAS AND HAPPY NEW YEAR


Selamat Natal semuanya....
semoga natal ini senantiasa membawa damai, berkah dan kebahagiaan di hati kita semua...
-----------------------------------------------------------------------------

Teng.. Tong... Tenggg... Teenggg...
Lonceng besar itu berbunyi keras sekali mengagetkan semua yang ada di ruangan besar itu...
Tiba-tiba mereka tampak panik dan segera bergegas menyelesaikan pekerjaannya masing-masing...
"Cepaat anak-anak... malam natal sudah tibaaaa!" Tiba-tiba terdengar seruan lantang yang makin membuat para "kurcaci" itu, begitu mereka biasa disebut, makin pontang- panting...
"Segera masukkan semua barang ke kereta dan siapkan para rusa... Kita meluncur malam dalam 5 menit..." Suara tua berwibawa itu kembali terdengar lantang membahana.

Tiba-tiba seorang kurcaci berbaju hijau berlari tergopoh-gopoh mendekat ke pria gendut berbaju merah dan berjanggut putih menjuntai yang sejak tadi berteriak-teriak itu.
"Pssst... Santa..." dia berbisik mencoba mengatakan sesuatu...
"Ada apa pieter, semua beres bukan?" Pria yg dipanggil Santa itu menyahut.
"ehm... sebenarnya ada sedikit kesulitan... err.. emm" pieter tampak bingung.
"Katakan saja piet, aku akan segera membereskannya, hohoho.." santa menyahut lagi dengan tenang.
"Eh, tahun ini rupa-rupanya permintaan anak-anak agak sulit kita penuhi santa..." pieter berkata lagi dengan lirih.
"Apa maksudmu Piet? Apa mesin pembuat mainan otomatis kita rusak?" Tanya santa lagi.
"Bukan itu masalahnya... Tahun ini agak berbeda..., banyak anak-anak yang menuliskan keinginan mereka di hari natal dan menggantungnya di kaos kaki... "
"Bukannya itu sudah biasa piet? bukan masalah kan?" sambung santa..
Pieter menyahut lagi, " yang jadi masalah taun ini mereka tidak ingin mobil-mobilan otomatis, boneka beruang berbicara, atau pispot berjalan..."
"Mereka tak meminta benda... "
"Lalu apa yang mereka minta, piet? Apa itu susah?"
"Banyak yang sekedar meminta perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya, santa... Ada juga yang meminta krisis di negaranya berakhir, banyak juga yang meminta tak tinggal di jalanan lagi... Pemintaan semacam itu tak bisa di buat oleh mesin otomatis kita, Santa.." ujar piet menjelaskan...

"Hmmm... baiklah kalau begitu... sepertinya Dia sendiri perlu turun tangan, aku akan menghubunginya nanti"
"Dia? Maksud Santa dengan "Dia" itu siapa?" Pieter tampak bingung...
"Dia ya Dia, yang membuat Natal ini ada, iya Dia yang disebut Kristus itu piet..."
"Wah.. jadi Santa mengenalnya?" pieter tampak kaget.
"Kauu pikir siapa yang memberiku kekuasaan, kemampuan dan alat-alat canggih seperti ini hah?" Santa tersenyum dan segera melenggan ke keretanya...
"Ayo Rudolf... kita meluncur sekarang.... malam makin singkat... hohohoho..."



Senin, 07 Desember 2009

[mee on art nouveau #1]

original artwork: pencil on paper

-----------------------------------------------------------------------------------------
Sudah sekian lama sejak terakhir kali menggambar wajah, akhirnya saya mencoba menggambar wajah lagi. Kali ini dengan sedikit stilisasi gaya dengan sentuhan art nouveau. Entah kenapa saya sedang ingin ber art nouveau ria. Mungkin sedikit terpengaruh teman yang beberapa waktu lalu membawakan sefolder karya artnouveau.

Sebenarnya ini bukan kali pertama saya menggambar wajah si model ini. Ya, beberapa tahun lalu saya sempat menggambar wajahnya, tapi seingat saya hasilnya buruk sekali waktu itu. Hahaha, tapi tetap saja dengan pede saya hadiahkan. Dan kali ini sesuai janji, saya mencoba menggambar lagi, dan sepertinya hasilnya lebih memuaskan. Setidaknya menurut saya begitu. Dan hahaha, ternyata mbaknya tidak suka mawar.

------------------------------------------------------------------------------------------------------

gadis berkacamata dalam buku gambar

Malam itu sangat panas. Tidak seperti biasanya memang. Udara terasa sangat gerah, apalagi di lantai dua kamarku yang pengap. Jendela sudah ku buka, baju juga sudah kubuka, tinggal bercelana pendek saja aku mencoba tidur. Tapi kok udara panas memaksa mata untuk tetap terbuka. Sial sekali, padahal sebenarnya aku ingin sekali tertidur pulas.

Tiba-tiba, sebentuk angin kencang berhembus melalui sela-sela jendela yang terbuka...
Wah.. ini dia, pikirku... Angin segar...
Angin itu berhembus dengan aneh, tampaknya seperti berputar-putar. Tiba-tiba buku gambar yang tergeletak di mejaku mulai membuka-buka sendiri tertiup angin. Kontan aku melonjak kaget. Setan..!! pikirku, tapi setelah diperhatikan ternyata memang karena angin yang aneh itu. Angin aneh yang berhawa sejuk itu tiba-tiba memaksaku untuk mendekati dan melihat buku gambarku itu. Buku yang biasa selalu kubawa kemana-mana, maklum belum penuh halamannya, jadi masih sering aku bawa-bawa jika sewaktu-waktu ingin menggambar.

Kembali angin itu berhembus kencang dan membuka buku gambarku. Tepat ketika aku berada dihadapannya, buku itu terbuka lebar. Aku cukup kaget sesaat saat melihat sebentuk gambar wajah di halaman buku itu. "Ahh, buku siapa ini, pasti terbawa.. " pikirku... Karena aku merasa bukan aku yang menggambar wajah itu. Tapi setelah kuteliti lagi, itu memang buku gambarku. Aku jadi makin penasaran.

Lagi-lagi angin aneh itu berhembus lagi. Kali ini memaksaku untuk membuka halaman asing tadi. Kuperhatikan baik-baik gambar di lembar itu. Ternyata seorang gadis berkacamata, dengan senyumnya dan pandangannya yang tajam. "Hmm.. siapa ya dia?" pikirku makin penasaran. "Cantik juga.." Aku kembali mengamati gambar gadis berkacamata di buku itu, kuperhatikan teknik menggambarnya, maklum aku juga senang menggambar. "Sepertinya sedikit terburu-buru menggambarnya", pikirku.

Tiba-tiba angin kembali menghantam wajahku dan sesaat kulihat mata di gambar itu berkedip. Kaget setengah mati aku langsung menjauh dari buku itu. Tapi rasa penasaran kembali muncul. Lalu kuberanikan lagi untuk memandang gambar di buku itu. Sekali lagi angin berhembus, dan kali ini dia tersenyum. Hampir copot jantungku, kaget setengah mati. Tapi tetap kuberanikan diri untuk terus mengamati gambar itu. Tiba-tiba gambar itu mulai tampak hidup dan bergerak-gerak... Daun-daun di gambar itu tiba-tiba bergoyang-goyang. Keringat dingin mulai mengucur, tapi aku tak sanggup untuk melempar buku itu dari tanganku. Semacam ada lemyang sangat kuat. Mendadak, angin aneh tadi kembali berhembus. Kali ini lebih kenceng dari sebelumnya. Dan makin kencang... Dan makin kencang. Sekarang angin itu terasa berputar-putar disekelilingku. "Oh, tidak.. apapula ini" pikirku dalam hati.

Tiba-tiba tubuhku terasa ringan sekali, dan setelah kuperhatikan baik-baik, ternyata aku mulai terangkat dari lantai kamarku, dangan tanganku tetap memegang buku itu dengan erat. Perlahan-lahan angin yang berputar itu menggulung tubuhku dan aku merasa tubuhku seperti tersedot pelan-pelan. Ya... benar, tubuhku mulai tersedot kedalam buku gambar itu rupanya. Aku bisa melihatnya jelas di kaca di dinding kamarku. Tubuhku melayang dengan angin menggulung tak menentu dan pelan-pelan mulai menghilang ke dalam buku itu. Semacam dalam film fantasi saja. Lalu pandanganku kembali kuarahkan ke wajah dalam gambar tadi. Dia tersenyum lagi, dan tiba-tiba sebuah hentakan keras membuatku terjatuh entah dimana, tapi yang pasti aku merasa terjatuh ke suatu temapat didalam buku gambarku itu.
Ya, sekarang aku didalam buku gambarku.

menimba

original artwork: drawing pen, aquarell on paper
used for illustration on children magazine "PERCIK yunior"


Byuuuurrrr.....
Dan air dari ember timba itupun berpindah sudah ke ember penampungan yang lebih besar.
"Kak... kenapa kita masih menimba air seperti ini, Kak?" tanya Mimi pada kakaknya yang masih tetap sibuk dengan tali timbanya...
"Memang kenapa, Dek...? Kalo' mau minum atau mandi ya nimba air dulu lah..., biasa aja to?" Sang kakak menimpali dengan cuek...
"Di tempatnya Lek Parjo kok nggak perlu nimba, Kak? Tinggal puter keran saja sudah 'ngocor'' airnya..." Mimi tak mau kalah.
"Oh itu..., Lek Parjo sudah pasang 'SANYO' jadi ndak perlu nimba-nimba lagi kaya' kita... " sahut si kakak.
"Naah, maksudku ya itu..., kenapa kita gak pasang 'SANYO' juga... kan ga perlu susah-susah nimba kak..."sahut Mimi.

Parmin berhenti sejenak dari menimbanya. kemudian dia menatap wajah Mimi yang polos dengan senyuman yang lembut. Senyuman seorang kakak yang luar biasa, yang pasti akan menenangkan hati setiap adik dimana juga.
"Dek Mi, kalau cuma masalah pasang SANYO, sebenernya bapak itu masih mampu. Cuma yang jadi masalah, di desa kita kan listrik belum ada , Dek..., nggak kaya di rumah Lek Parjo di Kota..." Parmin menjelaskan pada adiknya.
"Ooohh..., jadi gitu ya, Kak.... Brarti mesti ada listrik dulu ya sebelum bisa pasang SANYO..." Mimi mencoba memahami penjelasan kakaknya.
"Lha, lalu kenapa di desa kita masih belum ada listrik juga, Kak?" tanya Mimi lagi..
Kali ini Parmin hanya terdiam, dan kembali tersenyum lembut pada adiknya sembari melanjutkan menimba air.
"Sudah sore, Mi.. lebih baik kau cepat-cepat mandi saja... keburu gelap.."

-----------------------------------------------------------------

Selasa, 01 Desember 2009

Sore di Pematang

drawing pen on paper, mix with photos

Sore sedang cerah-cerahnya...
Yanuar, Yuni dan Teteh memutuskan untuk pergi jalan-jalan sekedar menyusuri pematang sawah. "Wah, asiknya kita kesana naik sepeda saja, Teh..." kata Yuni...
"Ayooo, siaap..., tapi sepedane mung siji ki, piye?" Teteh menimpali...
"Wis ngene wae, Yun kowe nggonceng ngarep wae yo... cukup kuwi, kowe mburi Teh.." sambung Yanuar menengahi..
"Wah ya, raiso ngono Oom.., ra penak lungguhe.." Yuni masih tidak terima..
"Lha, daripada sing siji mlaku dewe rak ra seru to..., wis to manut wae... ngko aku sing nggenjot. Tak alon2 wis..."
"Wis to Yun, dicoba disik wae." Teteh coba menenangkan.

Akhirnya pergilah mereka bertiga naik sepeda malang itu. Dikayuhnya sepeda itu dengan penuh semangat. Ah sebuah perjalanan penuh canda yang menyenangkan. Mereka terjatuh sampai tiga kali, sebelum sampai di sawah yang mereka tuju. Tapi tidak sampai seperti Yesus.

Sore yang cerah dengan perjalanan yang indah dibawah canda tawa teman seiring.
Aah, sayang aku tak ikut.
Okelah tak mengapa, lain kali aku menyusul.